Upaya untuk membangun kompetensi komunikasi politik salah satunya dapat didahului dengan pemahaman atau konsep terkait, agar menghasilkan ketajaman dan menganalisis fenomena politik. Hal hal signifikan dalam proses proses analisis ini mencakup pemahaman akan tujuan, ragam dan bentuk komunikasi politik.
Materi pembelajaran tentang tujuan, arah, dan ragam, serta bentuk komunikasi politik ini, diharapkan dapat memberi kontribusi pemahaman sebagai tahap lanjutan atas pengenalan fenomena komunikasi politik.
Tujuan Komunikasi Politik.
Menurut Denton dan Woodward mengartikan komunikasi politik ialah diskusi otentik tentang alokasi sumber publik (pendapatan), otoritas resmi (pihak yang berkuasa untuk membuat keputusan legal, di tingkat legislatif, dan eksekutif), dan sanksi resmi dalam kerangka tujuan pengirim untuk mempengaruhi lingkungan politik. Faktor penting tujuan komunikasi politik bukan terletak pada sumber pesannya melainkan pada konten tujuan komunikasi politik itu sendiri.
Tujuan komunikasi politik menurut Brian McNair adalah segala bentuk komunikasi yang dimulai oleh politisi dan aktor politik lain dengan maksud meraih tujuan tertentu, komunikasi yang ditujukan pada aktor tersebut oleh nonpolitis, seperti pemilih dan kolumnis surat kabar, komunikasi tentang aktor dan kegiatan mereka seperti yang terkandung dalam laporan berita, editorial, dan bentuk lain diskusi media tentang politik.
Dengan pandangan yang merealisasikan komunikasi politik dengan propaganda, esensi komunikasi politik direduksi menjadi sekadar kemenangan atas pihak lain ataupun persuasi pada pihak tertentu dan hanya fokus pada akuisisi kuasa(kuasa pemerintah ataupun pada agenda media.
Komunikasi politik juga berkontribusi dalam pembentukan pendapat umum melalui beragam saluran komunikasi yang salah satunya melalui media. Pada relasi media dengan komunikasi politik atau media-ization, media diposisikan sebagai sarana yang digunakan oleh aktor komunikasi politik untuk menyampaikan pesannya pada audiens yang dituju. Selain itu, media juga difungsikan untuk pembentukan citra dan hype making yang menjadi fitur kunci politik demokrasi. Perlu ditekankan pula, media disini tentu saja tidak sesederhana dalam melaporkan dengan cara netral dan adil. Hal ini sejalan dengan Kaid yang mengemukakan pandangan tentang realitas politik ada tiga kategori, yaitu realitas politik objektif, realitas subjektif, dan kritis pafa pembentukan kategori persepsi subjektif, serta realitas yang dikonstruksi.
Berbicara tentang tujuan komunikasi politik juga tak luput dari pemikiran terkait sistem media ideal yang mendukung proses komunikasi politik yakni demokrasi. Demokrasi dijadikan sebgai salah satu sistem yang menjadi tujuan komunikasi politik demi mewujudkan keseimbangan antara hak dan kewajiban seluruh warga negara. Namun, meskipun begitu terdapat hambatan dalam meraih tujuan politik yang demokrasi ini yaitu antara lain adanya konflik diantara nilai demokratis ini sendiri, jarak antara komuniakator dan publik, kontradiksi pandangan atas partisipasi politik audiens, serta kontradiksi harapan demokratis dari media.
Arah dan Ragam Komunikasi Politik.
Pada dasarnya arah komunikasi politik sejalan dengan aliran komunikasi secara umum. Komunikasi politik sendiri merupakan proses interaktif yang berfokus pada transmisi informasi diantara politisi, media berita, dan publik. Prosesnya beroperasi down-wards atau ke bawah dari institusi pemerintah menuju warga, secara horizontal dalam hubungan di antara aktor politik, dan juga upward atu ke atas dari opini publik menuju ke authorities atau sistem (Noris, 2004). Dalam istilah lain, bentuk down-wards dan upward juga terkadang disebut sebagai aliran komunikasi vertikal yang dapat berjalan top-down dan bottom up yang dicirikan dengan relasi dari pemegang kuasa atau pemerintah ke masyarakat dan sebaliknya. Selain itu di satu sisi, arah aliran komunikasi dapat berjalan secara horizontal antara aktor politik atau komunikator secara umum. Meski begitu, di era teknologi komunikasiyang semakin canggih, media komunikasi terkini memungkinkan fasilitasi aliran komunikasi kesegala arah dala bentuk relasi dan jaringan.
Dalam relasinya dengan media disaat yang sama, tekanan untuk lebih top-down dan sekaligus bottom-up didorong oleh sejumlah besar media, serta dikuatkan oleh profesionalisai elit yang berlawanan dengan populisme yang meningkat (Blumer dan Kavanagh, 1999). Dalam konteks politik, komunikan yang menerima pesan politik memiliki kuasa atas pesan baik dengan menerima, menolak, memperhatikan, ataupun mengacuhkan.
Laporan penelitian survei yang dilakukan Gunther dan Mughan (2000) terkait sejumlah faktor teknologis, ekonomi, dan sosial-kultural yang memengaruhi dampak media pada perilaku politik, determinan paling penting dari dampak media merupakan strategi dan perilaku elit, secara khusus elit politik. Hasil riset mereka menunjukkan kekuatan faktor politis dan masih adanya dominasi kuasa elit atas masnyarakat, meskipun beragam faktor telah mengalami perubahan, termasuk peningkatan kekuatan jejaring dalam media baru. Gangguan pada sistem komunikasi politik secara sistemik dapat dipetakan menjadi beberapa tingkatan berbeda, yakni societal level, inter institutional, intra-institutional level, dan audience level (lichtenberg, 1990). Pada tingkat societal atau kelompok, penghambat ada pada tekanan subsistem ekonomi, politik, dan kultural pada pemilihan isu yang menjadi subjekperhatian publik dan memberi pandangan kelompok dan individual tertentu pada proses produksi dan diseminasi pesan politik. Faktor penghambat selanjutnya berada pada tingkat inter-institutional atau antarinstitusi yang menmpatkan komunikasi politik termediasi pada posisi produk gabungan yang memiliki kompleksitas tersendiri karena meru[akan kontribusi dan interaksi dari dua tipe komunikasi yang berbeda. Tujuan yang berbeda dari tiap sisi membuat pencapaian demokrasi makin sulit. Hambatan pada tingkat intra-organizational atau di dalam organisasi ditunjukkan melalui relasi media dan nilai ideologis pimpinan media profesional. Meskipun begitu, salah satu hal yang dapat diupayakan untuk tetap menjaga proses pencapaian demokrasi adalah dengan menguatkan kultur profesionalitas jurnalisme. Tingkatan terakhir ada pada audience yang terpapar beragam penggambaran stereotype tanpa menyadari dirinya memiliki kuasa atas pesan dengan melakukan penolakan (lichtenberg, 1990).
Landasan konsep arah komunikasi politik ini dapat digunakan untuk langkah analisis terhadap ragam komunikasi politik yang dipayungi oleh dimensi politik. Ragam komunikasi politik merupakan relasi antar dimensi komunikasi, yakni kebijakan, manajemen proses, dan keriuhan massa, yang melibatkan aktor politik, baik elit maupun publik. Louw (2005) menawarkan sejumlah cara untuk merelasikan setiap dimensi dan dan cara agar tiap dimensi tersebut dapat saling berinteraksi. Relasi yang dibangun diantaranya mewujud dalam praktik manajemen impresi atau selebriti politik, jurnalis politik dan agenda setting, opini publik, dan praktik spin-doctor.
Ragam pertama menyatakan dua hasil dari proses politik yakni kebijakan dan manajemen impresi. Relasi kebijakan dan manajemen impresi ditunjukkan melalui proses kebijakan yang ada dibalik layar dari hasil kebijakan yang ada diranah publik dan dan peningkatan perhatian media dalam pembuatan citra. Bahkan fenomena politik yang dihadirkan di media, secara khusus televisi, memperlihatkan asosiasi politisi yang lebih lekat dengan pembentukan citra dibandingkan dengan pembuatan kebijakan (Louw, 2005).
Ragam kedua terkait dengan pengelolaan kebijakan dan hype atau keriuhan massa. Tim kerja yang berada dibalik layar diposisikan sebagai profesional komunikasi, seperti yang dilakukan oleh jurnalis di negara Barat dengan menjadikan dirinya semi-insiders ketika berkait dengan kebijakan. Kegiatan semacam itu memberi kemungkinan munculnya dampak negatif pada praktik politik karena memproduksi jurnalisme politik yang berfokus pada politik sebagai permainan kompetitif (Louw, 2005).
Ragam ketiga dari dimensi proses politik adalah dua tipe praktik politik, yakni politik elit dan politik massa. Politik elit cenderung pada pembuatan kebijakan, sedangkan politik massa pada pengarahan pemilih. Politik massa mengasumsikan, seperti Lippmann, warga bersifat pasif secara politik sehingga dapat dimanipulasi, diarahkan, dan jika perlu ditenangkan atau dihibur. Opini publik menjadi contoh praktik politikelit dalam mengolah simbol dan stereotype untuk mengelola dan mengarahkan posisi dan rekam jejak mereka (Louw, 2005).
Ragam keempat merupakan dua tipe media yang berkaitan dengan ragan komunikasi politik yang menggolongkan adanya dua praktik politik. Tipe media dibedakan penggunaannya oleh pihak yang kaya akan informasi dan yang miskin akan informasi. Elit politik sebagai pihak yang memiliki banyak informasi akan mencari informasi dari ceruk khusus media, namun juga memperhatikan media massa untuk mengawasi peliputan atas diri mereka sendiri dan oposisinya serta melihat isu yang ditempatkanjurnalis pada agenda publik (Louw, 2005).
Ragam kelima berkait dengan informasi faktual tentang adanya kemungkinan kegagalan spin-doctors karena mesin keriuhan merupakan pencampuran dari relasi manusia dengan perbedaan kemampuan dan komitmen. Spin-doctor tidak memiliki kontrol atas proses decoding (Louw, 2005). Hal ini didasari atas pemaknaan pesan yang diterima oleh audiens yang dipengaruhi beragam elemen, seperti kerangka berpikir dan rujukan pengalaman yang berbeda dan yang menyebabkan satu sama lain memiliki interpretasi yang berbeda. Relasi media dan publik semacam itu diharapkan mampu meningkatkan partisipasi publik yang efektif dan menjadi alternatif dalam menyampaikanisu yang signifikan bagi kepentingan publik.
Bentuk Komunikasi Politik di Tingkat Lokal, Nasional, dan Internasional.
Praktik komunikasi politik dapat diimplementasikan melalui media dengan dilandasi pemikiran tentang ketergantungan massa pada media atau informasi politik,seperti kebijakan dan dampaknya.
Menurut Louw (2005) memetahkan sejumlah peran media dalam pembentukan dan implementasikan kebijakan asing dalam kaitannya dalam bentuk komunikasi politik internasional,yakni media sebagai produsen kesepakata, media sebagai lopdogs (sarana bagi kelas dominan),media sebagai watchdogs(media merupakan regulator indenpenden),media sebagai saluran diplomasi, media sebagai permainan moralitas,media sebagai hype (media berdampak dimensi publisilitas atau propraganda),media yang powerlass (media tidak berdampak pada pembuatan kebijakan asing),serta media tertangkap dalam sangat khusus.
Pada praktik komunikasikasi politik dalam cangkupan wilayah terdekat atau lokal,dapat dianalisis betapa media komunikasi memiliki peranan signifikan, baik penyampaian pesan aktor politik kepada massa ataupun sebaliknya.Kegiatan komunikasi politik ditingkat lokal salah satu contohnya dapat dilihat dari beragam upaya aktor politik dalam periklanan politik,kehumasan maupun spin-doctor di tingkat pemilihan legislatif.
Dalam era globalisasi proses politik cenderung menjadi berdimensi internasional.Media komunikasi dan telekomunikasi menjadi pusat globalisasi dan perkembangan nasional,tiap negara memiliki kepentingan yang dapat memunculkan konflik ekonomi,diplomasi,atau militer.Dalam menangani konflik ini,pemerintah tak hanya menggunakan instrument kuasa Konvensional,seperti tekanan ekonomi dan militer,tetapi juga menggunakan opini publik yang dibangun ditanah air maupun di negara luar.Pada era globalisasi,media baru menjadi rujukan ketika batasan media konvensional menjadi hambatan dalam mengakses informasi dengan biaya yang cukup tinggi.Pada negara maju maupun berkembang media baru telah dijadikan sarana penyampaian visi dan misi calon pejabat pemerintshan.
Kehadiran internet memunculkan varian praktik komunikasi politik salah satunya adalah demokrasi cyber,yang diartikan sebagai tatanan sosial yang lebih demokratis dan adil dengan menempatkan teknologi informasi dan komunikasi yang tersebar untuk memfasilitasi pemenuhan nilai demokrasi dalam praktik sosial sehari-hari.Gerakan sosial politik baru ini mendukung tujuan demokrasi cyber untuk mempromosikan kesejajaran keadilan internasiaonal dan antar generasi,serta untuk memenuhi kepentingan publik.
Teknologi informasi dan komunikasi dapat memfasilitas pertumbuhan gerakan internasional baru,terutama dengan jangkauan geografis dan disafilasi (tidak keterkaitan) kelembagaannya.
Gerakan internasional baru membentuk persahabatan dari uatu aliansi tanpa lembaga yang berarti gerakan informal,yang bebas ddari campur tangan kepentingan pemerintahan dan dengan demikian menjadi status quo yang subversif.Gerakan internasional baru yang secara bebas membentuk afiliasi,dinyatakan sebagai suatu pengganti bagi kepentingan publik. Gerakan ini mengarah pada sistem demokrasi sebagai bentuk pemberdayaan publlik.
Difusi informasi yang dibawa oleh teknologi informasi dan komunikasi mewujudkan bentuk komunikasi global yang mempertemukan tiap negara dalam suatu jejaring online.Globalisasi yang didefinisikan sebagai peningkatan interdependensi dunia mengarah pada dunia yang ditekan dengan kesadaran dan pemahaman atas tekanan,antara lain dalam ekonomi,politik,sosio-kultural,dan lingkungan.Globalisasi meredifinisikan beragam praktik komunikasi yang ada sebelumnya,termasuk mendorong adaptasi dan inovasi media massa dalam relasinya dengan media baru.